SUMENEP, NETSATU.COM,– Suasana duka menyelimuti Pulau Sadulang, salah satu pulau terpencil di Kepulauan Sapeken. Seorang ibu dikabarkan meninggal dunia setelah mengalami serangan jantung ketika sejumlah aparat kembali mendatangi lokasi sengketa tanah yang tengah memanas di wilayah tersebut. Tragedi ini mengguncang hati banyak pihak, termasuk tokoh masyarakat dan pemerhati kepulauan, Badrul Aini, yang angkat bicara keras menentang dugaan intimidasi terhadap warga sipil.
Dalam keterangannya, Badrul Aini menyampaikan rasa duka yang mendalam sekaligus mengutuk tindakan arogansi aparat yang dinilainya telah menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat kecil.
> “Saya tidak akan ikut campur dalam urusan sengketa tanah itu. Biarlah hukum bekerja. Tapi saya tak bisa diam melihat ada rakyat kecil meninggal dunia karena ketakutan di hadapan orang berseragam. Ini sudah melampaui batas kemanusiaan,” ujarnya dengan nada getir.
Tragedi di Tanah Sengketa
Kasus ini berawal dari sengketa lahan di Pulau Sadulang, Kecamatan Sapeken, yang disebut-sebut melibatkan dugaan cacat administrasi dalam penerbitan sertifikat tanah. Sejumlah warga menuding ada surat perintah pengukuran tanah dari pertanahan yang telah kedaluwarsa, namun tetap digunakan untuk melakukan pengukuran ulang lahan.
Ketegangan pun meningkat setelah beredar video yang memperlihatkan kehadiran aparat berseragam dalam kegiatan di lokasi tersebut. Warga menyebut, kedatangan aparat itu bukan hanya menimbulkan rasa tidak aman, tetapi juga ketakutan mendalam di kalangan penduduk setempat yang sebagian besar adalah nelayan dan petani kecil.
Salah satu warga, Dendi, menceritakan bahwa ibunya, seorang perempuan paruh baya, meninggal dunia setelah mengalami serangan jantung di tengah situasi menegangkan itu.
> “Hari Senin, tanggal 13 Oktober, setelah banyak aparat datang lagi ke pulau kami. Mereka datang ke lokasi tanah sengketa dan ada yang bilang kepada saya, ‘kamu akan saya bawa’. Saat itu ibu saya langsung kaget, gemetar, dan tak lama kemudian jatuh sakit. Kami bawa ke puskesmas Sapeken, tapi nyawanya tak tertolong,” tutur Dendi dengan suara bergetar.
> “Kami akan melaporkan semua pihak yang terlibat. Kami hanya rakyat kecil, tapi kami punya harga diri. Seragam itu dibeli dari pajak rakyat — termasuk pajak kami, orang pulau,” imbuhnya.
Badrul Aini: Biar Ini Jadi Pelajaran untuk Semua
Menanggapi peristiwa tersebut, Badrul Aini menegaskan bahwa dirinya tidak ingin masuk ke ranah sengketa tanah yang menjadi pokok persoalan. Namun ia menyoroti perilaku aparat dan pihak-pihak yang memanfaatkan kekuasaan untuk menekan rakyat kecil.
> “Ada sertifikat tanah yang diduga cacat prosedur, ada tukang ukur yang pakai surat tugas kadaluarsa — biarlah semua itu diselidiki oleh Tim Pemberantasan Mafia Tanah di Jakarta. Tapi yang kami sesalkan, ada oknum yang justru mengundang aparat dan menjadikannya alat tekanan,” tegasnya.
> “Apakah karena mereka orang pulau? Karena mereka miskin? Karena pendidikan mereka rendah? Lalu mereka bisa ditakut-takuti begitu saja? Apakah nyawa seorang ibu di Sadulang begitu murah hingga bisa hilang hanya karena ketakutan?”
Ia berharap peristiwa ini menjadi pelajaran bagi semua pihak, terutama bagi lembaga dan pejabat terkait di Kabupaten Sumenep.
> “Kita ini bicara soal rasa keadilan, soal kemanusiaan. Jangan jadikan seragam sebagai alat untuk menindas. Rakyat kecil pun punya hak untuk hidup tanpa rasa takut,” ujarnya menutup pernyataan.
Harapan Keadilan dari Pulau Terpencil
Kini, warga Pulau Sadulang menanti tindak lanjut dari pihak berwenang atas laporan yang mereka rencanakan ke tim pusat pemberantasan mafia tanah di Jakarta. Mereka berharap tragedi yang menimpa keluarga Dendi menjadi yang terakhir, dan tidak ada lagi rakyat yang meninggal karena rasa takut di tanah sendiri.
Di tengah langit biru dan ombak laut yang mengelilingi Pulau Sadulang, suara warga kecil kini menggema dengan satu pesan yang sederhana namun menggugah:
“Kami orang pulau, kami miskin, tapi kami manusia. Jangan lagi ada yang mati karena takut.” tutupnya.
(Redaksi)








